Rabu, 30 Juli 2008

Bala-Bala Versus Burger

Serangan pola makan ala barat sedikit demi sedikit semakin melupakan kita pada makanan tradisional. Lihat saja berbagai frenchise yang berdiri di kota Bandung mulai dari mall, plaza, pertokoan besar, atau hingga pinggiran kota, hampir setiap saat dari mulai buka hingga tutup selalu dikunjungi para konsumen. Wajar saja, setiap frenchise menawarkan jenis makanan yang lain dan berbeda, ditambah dengan rasa yang oke juga disertai sisipan gaya hidup modernis jika kita mengkonsumsinya.

Namun, apakah konsumen sadar bahwa hampir setiap jenis makanan yang ditawarkan tersebut pada umumnya makanan yang memiliki kadar garam tinggi, lemak tinggi, atau juga bergula tinggi namun kandungan gizi lainnya seperti protein, vitamin dan mineral yang rendah. Makanan-makanan ini biasanya disebut junk-food alias makanan sampah, yaitu makanan yang kandungan gizinya rendah namun kalorinya tinggi dan hanya mengandalkan rasa yang enak.

Karena yang menjadi nilai jual adalah rasa (dan gaya hidup modernis), maka hampir setiap makanan sampah ini mengandalkan food additive (bahan tambahan makanan) baik untuk memperkuan citarasa seperti MSG/vetsin. Makanan sampah ini juga mengandung lemak, garam dan gula yang tinggi sehingga beresiko menimbulkan banyak penyakit antara lain penyumbatan pembuluh darah oleh kolesterol dan obesitas. Bahkan harus semakin dikahwatirkan jika food additive yang digunakan adalah food additive sintetik yang bertujuan untuk mengawetkan makanan.

(Konon) Ada sebuah penelitian yang dilakukan seseorang. Ia merelakan dirinya sebagai sampel percobaan. Percobaan ini ditujukkan untuk melihat bagaimana pengaruh dari konsumsi makanan sampah yang berlebihan dalam jangka waktu tertentu. Ia memeriksakan kesehatan dirinya sebelum dan sesudah mengonsumsi makanan sampah selama waktu yang telah ditentukan tersebut. Hasilnya cukup mengejutkan, sebelum ia mengomsumsi makanan sampah, kesehatan tubuhnya normal, tapi setelah mengonsumsi makanan sampah, badannya kini menyimpan berbagai zat asing.

Penelitian lain yang dilakukan juga menunjukkan bagaimana sebuah french fries mampu bertahan berminggu-minggu, sementara kentang goreng biasa paling lama 3 hari dan itu pun sudah tidak layak makan. Biguta juga dengan burger yang bisa bertahan beberapa hari. Bisa dibayangkan apa jadinya jika french fries dan burger tersebut masuk ke dalam perut kita.

Adanya berbagai ancaman kesehatan karena mengonsumi makanan sampah ini, sebaiknya membuat kita kembali melihat potensi makanan tradisional yang jelas-jelas alami dan hampir tanpa resiko kesehatan. Selain itu, mengonsumsi makanan tradisional ini juga dapat melestarikan khazanah kuliner nusantara. Dari sisi ekonomi, makanan tradisional tentunya jauh lebih murah karena tidak menjual gengsi pola hidup.

Sebagai perbandingan, kita perhatikan antara bala-bala dan burger. Bala-bala bisa dikatakan makanan lengkap, bahkan sangat lengkap. Lihat saja bahan baku yang digunakan, terigu sebagai sumber karbohidrat, telur sebagai sumber protein, sayuran (wortel) sebagai sumber vitamin dan serat. Hal utama yang membedakan dengan burger adalah kandungan lemaknya. Bala-bala memberikan lemak sedikit dari telur dan minyak untuk penggorengan. Namun harus diingat, bahwa lemak nabati dari minyak goreng ini jauh lebih bersahabat dibandingkan dengan lemak hewani yang banyak terdapat pada burger. Dalam setiap 100 gram humburger, terdapat sekitar 8-12 gram lemak, ini menunjukkan tingginya kandungan lemak dalam makanan sampah ini.
Selain itu kandungan gizi antara bala-bala dan burger, bala-bala lebih aman dikonsumsi karena menggunakan food additive alami dan tanpa pengawet. Sampai sekarang belum pernah kita dengar ada bala-bala yang tahan hingga 3 hari, ini menunjukkan bahwa bala-bala bebas dari bahan pengawet.

Namun, dibalik kelebihan yang dimiliki oleh makanan tradisional, setiap pengusahanya harus selalu melakukan pengembangan produknya. Bagaimana untuk meningkatkan kandungan mineral bala-bala dengan cara foritfikasi terigu, ataupun melalui bahan baku campuran antara terigu dengan tepung-tepung hasil dari ubi-ubian lokal.

Yang paling penting dari mengonsumsi makanan lokal adalah, kita tidak terbiasa membeli gengsi dan penyakit. Justru dengan makanan lokal kita malah membeli nutrisi dan kesehatan. Selain itu pemanfaatan sumber daya hayati lokal akan sangat berarti dalam rangka mewujudkan rasa syukur kita.
Tetap Pintar Untuk Memilih Makanan, dan Tetap Pintar Untuk Hidup Sehat

(Dari Berbagai Sumber)


Teddy Efendy
Alumni Teknologi Pangan Univrsitas Padjadjaran

1 komentar:

Anonim mengatakan...

mantap banget infonya, mohon diperbanyak artikel yg bermanfaat seperti ini.